Burung-burung
api itu melesat dan menembus jantung para pembantai. Para pembunuh terbakar.
Tubuh mereka menyala. Siti bertanya, ”Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas
semua?”
Tak ada
keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu. Dan Siti menatap
takjub beratus-ratus pasangan bangau yang sedang berkencan itu. Burung-burung
itu serempak mencericitkan kicau mirip tangisan paling pedih yang memekakkan
telinga tetapi pada saat sama mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka
mengayunkan sayap dalam gerak yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat,
kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga melompat, berlari,
melompat lagi, dan berlari lagi. Dan yang membuat lelaki kencur 10 tahun itu
lebih takjub, bangau-bangau itu berdiri tegap saling menatap dengan paruh
menusuk ke langit. Ia tak tahu kenapa sang pejantan hanya mengeluarkan suara
sekali dan para betina berkali-kali.
Itulah
pemandangan yang berulang-ulang dilihat oleh Siti dan berulang-ulang pula
membuat dia kehilangan cara untuk mengungkapkan ketakjuban. Akan tetapi, hari
itu, pada Oktober 1965 saat angin laut begitu asin dan amis, burung-burung
bangau itu nyaris tidak melakukan gerak apa pun. Isya sudah usai menghampiri
kampung di ujung tanjung itu tetapi satwa-satwa tropis ini tetap saja membisu.
Siti menduga ada ratusan ular raksasa yang menelan mereka. Dan dalam benak lelaki
kencur itu hewan melata yang menjijikkan itu mula-mula menyambar sayap, lalu
menghajar, dan meng-kremus kepala-kepala mereka.
Karena
penasaran, Siti yang dari masjid hendak bergegas ke rumah, tiba-tiba berbalik
arah menuju ke tanah lapang yang dikelilingi hutan bakau tak jauh dari makam
yang dikeramatkan. Dari tanah lapang itulah, ia akan bisa dengan seksama
melihat segala yang terjadi pada burung-burung bangau yang berkerumun di tanah
becek, di antara pohon-pohon bakau. Tentu jika memang benar ular-ular raksasa
itu melahap secara sembarangan burung-burung bangau kesayangan, dengan oncor
(1) yang terus menyala Siti akan mengusir binatang-binatang menyeramkan itu.
”Kalian tak
boleh menyakiti temantemanku,” kata Siti sambil mengacung-acungkan oncor kepada
ular-ular yang ia bayangkan sangat ganas itu.
Ternyata tidak
ada yang mencurigakan. Tak ada ular-ular raksasa yang berkeliaran. Tak ada satu
pun bangkai bangau yang berdarah-darah. Ratusan bangau itu justru nyekukruk
(2) meskipun tetap mencericitkan suara-suara kacau yang memekakkan.
”Mengapa kalian
tak menari?”
Tak ada
jawaban. Siti sama sekali tidak tahu sesungguhnya alam punya cara merahasiakan
segala peristiwa buruk kepada anak-anak. Bangau-bangau dan pohon-pohon bakau
itu malam itu seakan-akan menjadi benteng kokoh yang tidak bisa ditembus oleh
mata lemah Siti. Saking rapat mereka menyembunyikan segala hal yang terjadi di
balik gerumbul bakau dan benteng bangau, Siti hanya melihat semacam dinding
tebal hitam memisahkan tanah lapang dari ujung tanjung. Akibat air menyurut
ujung tanjung itu berubah menjadi alun-alun penuh pasir, selongsong siput, dan
aneka kerang.
”Ayolah,
mengapa kalian tidak menari?” teriak Siti sekali lagi.
Tetap tak ada
jawaban. Tetap hanya angin amis yang menampar-nampar tubuh Siti yang terlalu
rapuh untuk berhadapan dengan amuk malam.
***
Apa yang
disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja telinga Siti tidak
ditulikan oleh kicauan bangau, sesungguhnya ada jerit panjang terakhir yang
menyayat dari sebelas perempuan dan laki-laki dewasa yang lehernya dipancung
oleh para pembantai dari kampung sebelah. Para pembantai itu meneriakkan nama
Allah berulang-ulang sebelum dengan hati dingin mengayunkan parang, sebelum
dengan kegembiraan bukan alang kepalang menusukkan bayonet ke lambung.
”Kami harus
membunuh mereka karena sebelumnya mereka akan membunuh kami,” kata seorang
serdadu.
”Kami harus
membantai orang-orang yang menistakan agama ini karena mereka telah membunuh
para jenderal terlebih dulu,” kata seorang pemuda berjubah serbaputih.
Apa yang
disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja mata Siti tidak
dibutakan oleh ratusan bangau yang membentuk semacam dinding pembatas,
sesungguhnya ada puluhan perempuan dan laki-laki dewasa, serta anak-anak kecil
dari kampung sebelah mengarak sebelas makhluk malang dibelit tali ke ujung
tanjung. Para makhluk yang dianggap manusia paling laknat dan bersekutu dengan
setan itu, dipaksa untuk menggali kubur bagi dirinya sendiri di tanah lapang
berpasir. Setelah semuanya selesai orang-orang yang merasa paling suci
menusukkan bayonet dan mengayunkan parang sesuka hati ke leher atau ke punggung
ringkih.
”Jangan
menganggap kami kejam….Jika sekarang mereka tak mati, pada masa depan mereka
akan membantai seluruh keturunan kami,” desis seorang perempuan nyaris tak
terdengar oleh orang lain.
Ia berbicara
untuk dirinya sendiri.
”Ini tugas
negara. Tak perlu kalian anggap ini sebagai kekejaman yang tak terampuni,”
desis seorang serdadu nyaris tak terdengar oleh serdadu lain.
Ia berbicara
untuk dirinya sendiri.
Apa yang juga
tak didengar dan dilihat oleh Siti? Tangis bangau dan jerit pohon bakau. Mereka
gigrik menyaksikan segala peristiwa yang terjadi saat itu karena Allah tidak
menyembunyikan sorak-sorai dan tarian suka cita para pembantai setelah makhluk
bantaian terbunuh kepada mereka.
Lalu makin
malam laut kian pasang. Para pembantai telah kembali ke rumah. Sorak-sorai
menghilang. Tanah lapang di ujung tanjung telah tenggelam. Pasir yang semula
digenangi darah dengan cepat terhapus. Segalanya sunyi diam. Segalanya
dilupakan oleh para pembantai dan saksi mata pembunuhan kejam itu.
***
Akan tetapi
Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk
memperkenalkan kematian kepada Siti. Para pembantai —yang dari bisik-bisik di
kampung sebelah telah dirasuki arwah para jenderal yang dibunuh di kota yang
jauh—sepanjang siang sepanjang malam mencari siapa pun yang dianggap sebagai
para pemuja iblis, yakni iblis-iblis yang senantiasa mengibar-ngibarkan bendera
palu arit dan menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi saat menghajar para jenderal
dan para pemeluk teguh.
Azwar, ayah
Siti, hanya karena tidak pernah mau bergabung dengan para serdadu dan
orang-orang yang mengaku paling suci, kali ini tak terhindarkan harus menjadi
makhluk buruan paling dibenci.
Puluhan orang
dari kampung sebelah–tentu bersama para serdadu dan lelaki beringas berjubah
serbaputih—menyerbu kampung di ujung tanjung setelah Isya yang sangat tenang
itu. Mereka mengasah amarah sambil menjulur-julurkan lidah, mengacung-acungkan
parang, dan meneriakkan kebesaran Allah berulang-ulang agar segala tindakan
tersucikan dari kesalahan.
Untuk membantai
Azwar, kau tahu, seharusnya cukup seorang serdadu menusukkan bayonet ke
lambung. Tetapi mengutus serdadu yang ringih tidaklah mungkin. Warga kampung di
ujung tanjung sangat mencintai Azwar. Membunuh lelaki kencana yang senantiasa
menjadi suluh kampung dalam segala tindakan akan membuat warga kalap. Karena
itu agar bisa meredam kemarahan para pemuja Azwar, tidak ada cara lain puluhan
pembantai harus disiagakan.
”Bunuh, Azwar!
Selamatkan warga kampung dari iblis laknat ini!”
”Bunuh, pembela
para pembenci Allah ini!”
”Bunuh dia!”
”Bunuh dia!”
Siti yang saat
itu sedang mengaji dan mempercakapkan dengan Azwar tentang perbedaan burung-burung
bangau di tanjung dari burung-burung ababil yang menghajar tentara gajah,
terperanjat mendengar teriakan-teriakan itu.
Setelah ia
bertanya, ”Apakah para bangau bisa menjadi burung api?” dan dijawab Azwar,
”Semuanya bisa terjadi jika Allah mengizinkan.” Siti lalu mengintip dari lubang
jendela dan mendapatkan puluhan orang mengacung-acungkan parang dan
mengacungkan bayonet. Ia juga melihat puluhan warga kampung dengan gagang
pendayung sampan mencoba menghalau para pembantai.
Lalu teriakan
pun berbalas teriakan. Acungan parang dan bayonet pun berbalas acungan gagang
pendayung. Pertumpahan darah akan segera terjadi jika tak seorang pun berusaha
mencegah pertempuran pada malam yang hanya disinari oleh separo bulan itu.
Pada situasi
yang semacam itu, di luar dugaan Siti, Azwar membuka pintu dan dengan langkah
yang sangat tenang menyibak kerumunan. Warga kampung menghalang-halangi, tetapi
Azwar tetap berusaha membelah kerumunan dan bergegas menghadapi para pembantai
yang berteriak-teriak tak keruan.
”Bunuhlah aku
jika kalian anggap dengan membunuhku hidup kalian lepas dari iblis paling
laknat,” Azwar berteriak membelah malam.
Tak ada
jawaban. Sebuah parang mengayun di punggung Azwar.
”Bunuhlah aku
jika kalian anggap dengan membunuhku kalian akan jadi manusia-manusia paling
suci!”
Tak ada
jawaban. Sebuah bayonet ditusukkan ke lambung Azwar.
Tentu saja
warga kampung di ujung tanjung tak bisa membiarkan Azwar dibantai di depan mata
mereka. Karena itu sebelum leher Azwar dipancung, sebelum tubuh Azwar diseret
dan dibuang ke laut, warga kampung melakukan perlawanan.
Lalu
parang-parang dan bayonet pun beradu dengan gagang pendayung. Beberapa orang
tertebas parang, beberapa orang tertusuk bayonet, beberapa orang terhantam
gagang pendayung sampan.
Di mana Siti?
Siti tidak melihat pemandangan mengerikan itu. Pada saat sama burung-burung
bangau yang menghuni hutan bakau di kampung itu terbang bersama-sama dan
mengepung orang-orang yang sedang bertikai. Tak ada celah sekecil apa pun yang
memungkinkan Siti melihat darah yang mengucur dari lambung atau bacokan parang
di punggung. Bangau-bangau tetap tak menginginkan kekejaman dan kekerasan
diendus oleh anak-anak sekencur Siti.
Akan tetapi
Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk
memperkenalkan kematian kepada Siti. Teriakan-teriakan para pembantai kian
keras. Teriakan-teriakan yang dibantai juga tak kalah keras. Darah mengucur.
Tanah berpasir di tanjung pun memerah hingga ke ujung, hingga ke relung-relung
cangkang siput dan kerang murung.
Tak ada cara
lain untuk menghentikan pertempuran sia-sia itu, kecuali burung-burung bangau
di ujung tanjung itu harus mengulang peristiwa bertahun-tahun lalu yang pernah
dilakukan oleh nenek moyang mereka. Atas izin Allah, bangau-bangau yang riuh
mencericitkan semacam zikir itu lalu meliuk-liuk ke arah pembantai dan setiap
liuknya menebarkan api. Bangau-bangau itu sebagaimana burung ababil menjatuhkan
batu-batu sijil dari neraka ke tubuh para pembantai. Batu-batu api itu bergesek
dengan udara, menembus dada para pembantai sehingga tubuh-tubuh para pembunuh
itu terbakar. Dan karena para pembantai itu berlarian tak keruan–dan
alhamdulillah Allah mengizinkan dan tak berhasrat membunuhnya—dari kejauhan
tampak seperti panah-panah api yang melesat menembus kegelapan malam.
Saat itulah
Siti melihat segala peristiwa yang mengerikan itu. Melihat tubuh para pembunuh
menyala, Siti bertanya, ”Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas semua?”
Tak ada
jawaban. Siti hanya melihat Azwar tertatih-tatih—dengan luka di lambung dan
leher yang terus mengucurkan darah—berjalan ke arah masjid dan sisa-sisa
kilatan api para bangau yang terus riuh mencericitkan semacam zikir menggores
langit Oktober yang perih. Siti hanya tahu kampung pada akhirnya jadi sunyi
kembali seperti tak pernah terjadi kekejaman agung yang tak tepermanai.
Siti hanya…
http://kompas.wordpress.com
http://kompas.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar