Setiap kali aku
menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat
ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung
dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di
matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih
adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak
sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang
matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan
digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya.
Aku tidak ingin
tahu namanya. Aku tidak ingin tahu cerita tentangnya. Aku sungguh tidak ingin
menambah teror yang sudah merayap di tengkukku hanya lantaran sepasang matanya.
Orang-orang di kampung ini pun sepertinya tidak memasukkan orang pemilik
sepasang mata yang misterius itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tidak ada
yang bercerita tentangnya. Ia tidak ada pada setiap hajatan dan upacara
kematian. Ia tidak ada di warung kopi dan pos ronda. Ia mungkin juga tidak
tercatat sebagai warga kampung ini, tidak direcoki oleh kewajiban membayar
berbagai pajak-sekalipun ia tinggal di sebuah rumah dan punya dua ekor sapi-dan
aku sangat yakin dia tidak pernah ikut pemilu.
Tapi bagaimana
mungkin aku tidak memikirkannya? Bukan karena aku sudah merasa terteror dengan
sepasang matanya. Tapi aku sekarang tinggal tepat di depan rumahnya! Aku datang
kurang lebih empat bulan yang lalu di kampung ini untuk keperluan penelitian.
Dan, oleh seorang kenalan kemudian aku mendapatkan sebuah rumah kecil yang bisa
kutempati dengan biaya yang sangat murah. Rumah kecil tepat di depan rumah
sepasang mata yang penuh dengan teror itu.
Pada malam
ketiga setelah kedatanganku, aku bertemu dengannya. Tiga hari dan dua malam
setelah kedatanganku kuhabiskan dengan menata dan membersihkan rumah yang
kutinggali. Malamnya tentu saja aku sangat lalah dan kupakai untuk istirahat.
Baru pada malam ketiga, aku keluar untuk bersilaturahmi dengan tetangga
kiri-kanan. Tapi aku urung mengetuk pintu rumah di depan rumah yang kutinggal
karena gelap tidak berlampu. Aku berpikir untuk mengunjunginya besok pagi saja.
Dan kemudian
aku menuju ke rumah kenalanku satu-satunya, lalu kami berdua pergi ke sebuah
warung kopi yang cukup ramai. Di sana kenalanku bertambah banyak, apalagi
setelah saling bersulang arak. Saat aku pulang, dengan kepala yang begitu
berat, aku melihatnya. Saat itu, ketika aku hendak membuka pintu rumahku, aku
merasa ada yang mengawasiku. Lalu aku menoleh ke belakang, namun tidak kudapati
siapa pun. Gelap ada di mana-mana. Hanya beberapa kelip lampu yang menerobos
dari dinding kayu tetangga kiri-kananku, dan lampu redup yang menyala di pagar
rumah yang kutinggali. Dan, ketika aku hendak melangkah masuk, aku tetap merasa
ada yang mengawasiku. Lalu kuputuskan untuk keluar lagi, dan kuedarkan
pandangku sekalipun segalanya tampak lamur karena bersloki-sloki arak. Dan
kudapati sepasang mata itu. Aku mendapatinya dari pendar lampu di dekat pagar
rumahku.
Awalnya aku
tidak yakin bahwa itu sepasang mata. Tapi memang kutangkap bayang-bayang tubuh
yang sedang berdiri di pintu rumahnya yang gelap. Dan kemudian baru kuyakini
bahwa itu sepasang mata. Aku mencoba tersenyum dan ingin menghampirinya. Tapi
entah kenapa, langkah kakiku seperti tertahan. Sepasang mata orang itu seperti
menjelma menjadi tembok kokoh yang menahanku untuk maju mendekatinya. Sepasang
mata seperti bolam susu yang kotor karena debu, sepasang mata yang usai dari
badai, sepasang mata yang melempar teror dengan cara asing dan semena-mena.
Aku hanya bisa
membalikkan tubuh, menutup pintu. Senyum yang kulemparkan bukan hanya sia-sia,
senyum yang kulemparkan balik dengan kekuatan ganda melabrakku penuh beda rasa.
Aku pikir, aku bukan seorang penakut. Tapi begitu kututup pintu, menguncinya,
aku merasa tatap mata orang itu masih terus lekat di tubuhku, seperti
mengintaiku dari balik dinding-dinding kayu, dari lubang ventilasi, bahkan
ketika aku mencoba tidur, aku merasa sepasang matanya terus menyorotku dari
segala benda yang mencipta ruang-ruang gelapnya; dari lubang kunci, dari
sela-sela buku, dari atap dan di bawah dipan yang kutiduri.
Aku baru saja
tidur ketika hari mulai pagi. Dan semenjak itu, aku hanya bisa tidur ketika
sudah ada sinar matahari. Aku sudah mencobanya dengan mengganti bolam di
kamarku dengan yang lebih terang, dan aku mencoba tidur dengan lampu yang
menyala terang itu. Tapi sungguh sia-sia. Aku justru merasa seperti ada di
sebuah akuarium, dan sepasang mata itu terus melihatku dengan begitu leluasa.
Di siang hari,
aku merasa tak ada gangguan dengan sepasang mata itu. Siang hari, ketika aku
bangun dari tidur yang kumulai di pagi hari, aku bisa mendapati rumah di depan
sebuah rumah yang biasa saja. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon buah-
buahan. Di sampingnya agak jarak, aku melihat sebuah kandang dengan dua ekor
sapi. Di sekeliling kandang itu tumbuh subur pohon-pohon pisang dan
sayur-sayur. Aku melihat laki- laki itu pulang pada senja hari dengan
sekeranjang penuh rumput di atas kepalanya, cangkul dan sabit, juga lintingan
rokok besar di tangannya. Tapi sepasang mata yang penuh teror itu selalu tak
bisa terlihat. Aku pikir mungkin karena ada topi lusuh yang bertengger di
kepalanya, juga keranjang penuh rumput yang di sana-sini rumputnya jatuh di
kepala dan punggungnya. Tapi kemudian aku benar-benar menyerah. Dari berbagai
arah, berkali-kali pada saat bertemu dengannya di siang hari, aku tetap tak
bisa melihat sepasang matanya. Aku ingin menantang tatapan matanya di siang
hari. Mata yang membuat malam-malamku menjadi resah dan menakutkan.
Ia dan sepasang
matanya berkuasa padaku di malam hari. Pernah pada niat yang begitu bulat,
kukerahkan dan kukumpulkan segenap keberanianku untuk menemaninya di malam
hari. Tapi sekali lagi entah karena apa, aku hanya bisa sampai pada pagar hidup
rumahnya. Rumah yang masih tetap gelap. Aku melewatinya berkali-kali dengan
perasaan tak menentu.
Akhirnya
kuputuskan untuk menemui kenalan-kenalanku di warung kopi sambil minum arak,
berusaha melupakan kebulatan tekatku yang tidak menghasilkan apa-apa. Dan
peristiwa yang makin memojokkanku datang di malam itu. Aku merasa ingin
kencing, lalu aku keluar dari warung menuju arah jalan yang agak sepi untuk
kencing. Sebetulnya begitu keluar dari warung, aku merasa malam segera
menyambutku dengan tusukan sepasang mata yang ada di mana-mana, ada di balik
setiap gelap. Tapi aku mencoba tidak peduli, juga karena aku memang harus
kencing.
Namun tiba-tiba
langkahku terhenti, di dekat sebuah satu tiang listrik, yang lampunya di
sekitarnya menyala redup, aku melihat sosok itu. Dan aku menatap matanya dengan
cukup jelas saat itu. Mata yang seperti selesai namun maih menyimpan sisa
badai. Aku gemetar. Tubuhku dingin namun mengeluarkan keringat. Suaraku seperti
hilang, dan aku seperti tak punya napas. Seluruh kulit di tubuhku tiba-tiba
bergerak sendiri. Aku hampir dihabisi oleh ketakutan yang terkutuk. Lalu
kulihat kemudian ia pergi, melenggang dengan langkah-langkah pendek dan nyala
api dari tangannya. Api lintingan rokok yang besar. Beberapa saat kemudian, aku
merasa sangat malu pada diriku sendiri.
Segera aku
diburu oleh rasa marah yang sangat pada diriku, dan balik ke warung kopi, minum
bersloki-sloki arak, lalu kupinjam parang dari pemilik warung. Beberapa orang
agak heran, tapi kemudian aku bisa berdalih. Dengan tubuh yang menahan marah
aku melangkah menuju rumahnya. Aku masukkan parang di balik jaketku, setelah
aku sadar betapa memalukannya diriku. Apa salahnya padaku? Kenapa aku bisa
begitu terganggu dan ketakutan? Tapi aku tetap melangkah menuju rumahnya.
Apapun yang terjadi, aku harus bicara dengannya, paling tidak berkenalan, dan
aku ingin memastikan bahwa sepasang mata itu sesungguhnya tidak penuh dengan
teror. Tapi jika kemudian memang marabahaya yang ditawarkannya, aku meraba
gagang parang di balik jaketku, seperti meraba kemungkinanku untuk
mempertahankan diri.
Dan kudapati ia
di depan pintu rumahnya, masih dengan nyala rokok yang jika dihisap menjadi
bertambah nyalanya, dan sepasang matanya semakin terlihat mengerikan. Aku tetap
hanya bisa tertegun di pagar hidup rumahnya. Kami berdua hanya dibatasi dengan
pagar hidup pohon beluntas setinggi perutku , dan beberapa meter kemudian
tubuhnya bersandar pada salah satu sisi pintu yang terbuka, seperti menungguku.
Aku habis kata dan keberanian. Aku tetap mendapati sepasang matanya sebagai
teror menakutkan. Sangat menakutkan. Aku berbalik arah, dan seiring dengan
pengaruh arak yang merayap turun, aku semakin dirundung takut yang menyesakkan.
Sampai pagi tiba.
Sebulan sekali,
aku ke kota untuk berkonsultasi dengan peneliti seniorku. Dan pada saat yang
agak jauh dari kampung itu, dari sepasang mata itu, aku bisa berpikir dengan
agak jernih. Itu sepasang mata orang yang telah mati, mata yang keruh. Tapi
kenapa di tubuh yang tegap dan hidup bisa memiliki mata orang yang telah mati?
Dan mengapa itu hanya terjadi di malam hari? Atau baiklah, aku tidak bisa
mengatakan itu hanya terjadi di malam hari, sebab aku tidak pernah melihat
matanya di siang hari.
Tapi menurutku
pertanyaan itu bisa kuganti dengan: mengapa aku merasa ada sepasang matanya
yang menakutkan itu, hanya menerorku di malam hari? Mungkin banyak orang akan
menjawab, mereka mengira aku takut hantu dan sejenisnya, yang selalu hadir di
malam hari. Itulah masalahnya. Aku tidak pernah percaya hantu, dan malam hari
bukan sesuatu yang selama ini menakutkan. Aku hanya takut pada dua hal selama
ini: kecoa dan ulat bulu.
Lalu
sesungguhnya apa yang menakutkanku, sehingga aku harus tidak nyaman tidur,
tidak leluasa berpergian ketika malam, dan beberapa kali gemetar tak karuan
ketika bertatapan mata dengan bertemu dengan orang itu? Dan lalu muncul
keinginan-keinginan untuk tahu siapa pemilik sepasang mata itu.
Tapi setiap
kali aku balik lagi ke kampung itu, segala keingintahuanku tiba-tiba lenyap,
bahkan aku tidak ingin mengerti dan tahu apa-apa tentang orang tersebut.
Tiba-tiba aku seperti berada dalam sebuah situasi dimana pemilik sepasang mata
yang menerorku itu tidak pernah ada di kampung itu. Tidak pernah ada orang yang
membicarakannya, menyebut namanya. Dan aku merasa bahwa memang sepasang mata
yang seperti orang yang telah mati itu memang hanya untukku dan itu hanya ada
di malam hari. Selalu saja, jika aku ada di kampung itu, aku selalu merasa
seperti tidak perlu dan tidak butuh semacam latar belakang dan cerita tentang
laki-laki itu. Aku tidak ingin menambah derajat ketakutanku. Biarlah dia hadir
dengan sorot matanya ketika malam. Toh aku tidak selamanya ada di sana.
Tapi pada saat
jauh dari kampung dan orang itu, selalu saja aku dirundung tanya dengan begitu
saja. Umur laki-laki itu kira-kira seumur dengan pamanku, lima tahun lebih muda
dari ayahku. Tubuhnya gempal berisi dengan kulit yang agak gelap terbakar
matahari. Tidak pernah kulihat beralas kaki. Selalu melangkah dalam
langkah-langkah pendek dan mantap. Benar-benar tubuh orang hidup. Tapi sepasang
matanya….
Suatu saat,
dalam sebuah perjalanan balik menuju ke kampung itu, aku berhenti di kota
kecil. Dari kota itu ke kampung yang hendak kutuju masih berkisar satu setengah
jam masuk ke dalam bebukitan penuh ladang naik angkutan yang sehari paling
hanya ada tiga atau empat kali dalam sehari. Aku berhenti untuk berbelanja
beberapa kebutuhanku yang lupa kubeli. Selesai berbelanja, sambil menunggu
angkutan, aku masuk ke sebuah warung untuk makan siang. Begitu masuk, entah
mengapa, perhatianku langsung tertuju pada seseorang berbaju dan bercelana
hitam, baju dan celana yang komprang dan warna hitamnya mulai pudar.
Aku duduk di
sampingnya. Kuperhatikan lagi orang di sampingku. Cukup tua. Kutangkap keriput
di wajahnya. Hampir semua kumisnya berwarna putih. Ia memakai ikat kepala dari
kain. Diam. Asyik dengan rokok dan secangkir kopinya yang hampir tandas.
Ia menoleh
padaku, melempar senyum. “Mau ke Dalam, Anak?” tanyanya sambil menggeser
tubuhnya, memberiku tempat agak leluasa.
Aku mengangguk.
‘Dalam’ adalah istilah untuk menyebut daerah yang kutuju. Lalu aku memesan kopi
dan makan.
“Saya juga mau
ke sana.”
Aku merasa agak
lega. Setidaknya aku merasa ada teman menuju satu tujuan. Sebab kadang-kadang
memang tidak ada angkutan yang pasti ke sana. Aku berharap, dalam hari yang
masih siang seperti itu, masih ada sisa angkutan ke Dalam.
“Bapak berasal
dari sana?”
“Dulu. Tapi
sudah lama saya keluar dari sana.”
Aku meneruskan
makan, dan berharap tidak mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sepertinya enggan di jawab. Ia nampak masih asyik dengan kopi dan rokoknya.
Sudah beberapa
saat kami berdua menunggu. Tapi angkutan menuju Dalam tak juga muncul. Lalu
kami putuskan untuk menunggu tepat di jalan menuju Dalam, siapa tahu ada mobil
maupun truk yang lewat dan kami bisa numpang. Hari berangkat menuju sore.
Di sebuah
rumah-rumahan yang mungkin bekas warung makan sederhana, kami menunggu. Kami
tidak banyak bercakap. Laki-laki itu lebih sering memunggungiku, menebarkan
pandangnya ke lanskap, ke arah Dalam, yang dari jauh terlihat hanya sebagai
bebukitan.
“Waktu aku
kecil, Dalam adalah hutan yang menghijau.” Laki-laki itu berucap, tapi tidak
seperti ditujukan padaku, sedangkan ia masih juga memunggungiku.
“Bapak pernah
tinggal di sana?”
“Hanya beberapa
keluarga yang tinggal di sana. Kami hidup dari hutan. Lalu datanglah
orang-orang itu, orang-orang yang mengaku berpendidikan. Mereka membangun
kompleks perumahan untuk orang-orang yang mengelola hutan. Lalu satu per satu
kemudian, ada sekolahan, ada tempat ibadah, ada tanah lapang. Dalam beberapa
tahun, banyak sekali orang yang datang. Tiba-tiba kami punya pasar, balai desa,
jalan diperlebar, angkutan dan mobil melintas. Membawa yang baru, dan membawa
pergi apa-apa yang dulu kami hormati dan junjung tinggi.”
Laki-laki itu
membalikkan tubuhnya, dan kulihat wajah yang mengeruh. Murung.
“Mau tidak mau
kami masuk dalam kehidupan mereka. Anak-anak dari keluarga kami bersekolah,
hutan dan alam adalah uang. Listrik masuk. Tidak terlalu ada beda antara siang
dan malam. Ikan-ikan di sungai menyusut, binatang-binatang hutan langka.
Hutan-hutan diatur dan dipetak-petak. Kami tidak bisa leluasa lagi keluar masuk
hutan, mendapatkan apa yang kami butuhkan. Mereka menjaga hutan seperti menjaga
barang perhiasan. Mereka membawa senapan yang siap ditembakkan bagi
penebangan-penebangan. Tetap saja ada kayu yang hilang, yang tidak mungkin kami
lakukan. Orang-orang kekurangan uang yang melakukannya, dan mereka
mendiamkannya, bahkan ada yang diam-diam dari mereka sengaja melindungi dan
membantu menjualnya.”
Ia berhenti
sejenak, melinting rokok dalam ukuran besar, mengingatkanku pada orang bermata
teror.
“Mereka bilang
akan mengelola hutan dengan baik, tapi itu semua bolong. Diam-diam di antara
mereka sendiri telah mencurinya. Mereka tidak benar-benar menjaga alam.
Orang-orang yang dulu menggantungkan hidupnya dari hutan diajari bertani dengan
sistem tumpang sari, tapi kebutuhan yang diajarkan mereka datang lebih cepat
dan besar.
Kami berubah
dengan merasa semakin miskin. Tiba-tiba kami ingin punya televisi, ingin punya
sepeda motor, dan hasil dari pertanian seperti itu tidak memungkinkan. Lalu di
antara kami yang menebangnya, menjual dengan diam-diam ke orang- orang mereka.
Tetap juga mereka yang kaya. Yang menebang yang kena resikonya, tapi mendapatkan
hasil yang tidak seberapa. Jika ada pemeriksaan dari pusat, kami yang kena.
Rumah-rumah kami digeledah, atau saat kami menebang, mereka datang bersenjata
dan menangkapi kami. Harus tetap ada yang dianggap mencuri, sekalipun hasil
terbesarnya ada pada mereka sendiri.”
Orang tua itu
membalikkan tubuhnya lagi, memandang Dalam dari kejauhan. Senja mulai jatuh.
“Sekarang,
hutan itu habis. Terbukti mereka tidak bisa menjaganya, sebab mereka sendiri
yang mencurinya. Memang ada beberapa di antara kami yang menebangnya, itu
karena kebutuhan yang mereka ajarkan. Anak-anak kami yang merengek minta sepeda
dan mobil-mobilan. Perempuan-perempuan kami harus ikut arisan, rapat,
pengajian. Semua itu artinya uang. Itu pun tidak seberapa yang kami dapatkan,
dibanding dengan yang mereka dapatkan. Sebentar lagi, bukit-bukit itu juga akan
rata dengan tanah. Setelah tidak ada kayu, mereka akan mengambil tanah dan
batu.”
Aku terperanjat
seperti diingatkan. Dengan cepat kuraba tas punggung yang ada di samping
dudukku. Tas berisi berkas-berkas penelitian tentang kandungan tanah dan batu
di daerah Dalam.
Senja beranjak
gelap. Orang tua itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba aku merasa gemetar. Aku
mencari-cari sesuatu, dan pandangku berhenti pada sepasang matanya. Sepasang
mata itu! *
http://cerpenkompas.wordpress.com/2003/07/13/sisa-badai-di-sepasang-mata/
0 komentar:
Posting Komentar