Selalu. Pada akhirnya kita akan
pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah anak-anak memilih
rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol
kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para
ibu tua. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak
terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu
akan terus berjalan.
Sebuah jam lama di tonggak rumah
gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa
setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang
tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak
tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang
lumayan besar di sisi dinding yang lain.
Ibu tua itu mengamati satu persatu
foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga laki-laki
dan dua orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat
berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang.
”Kesunyian juga akhirnya yang
menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus
kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?”
ibu tua itu bergumam sendiri, lalu berjalan menuju kursi kayu untuk memulai
aktivitasnya tiap malam, menjahit. Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai
perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh
dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini ia rasa bergerak sangat lamban.
Usianya sudah enam puluh lima tahun.
Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu
menghadang tiap lembar rambutnya yang memutih serta kulitnya yang keriput.
Semenjak ketiga anaknya yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang
perempuan bersuami dan memilih menetap di rantau, serta semenjak suaminya
meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Hanya Upik, seorang anak perempuan
tetangga yang masih kelas enam SD yang menemani kehidupannya menjalani
hari-hari. Tak banyak kesulitan memang dalam hidupnya. Selain harta dan tanah
pusaka yang banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung dan sebagainya,
anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan. Tapi
kesunyian dengan apa harus dibayarnya?
”Apa yang dapat dimaknai dari rumah
gadang kebesaran. Lengkung luas kelapangan. Tanah, sawah, dan tanaman yang
berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang…,” sering ia keluhkan
itu. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu ketenangan malam-malamnya.
Tiap hari dilalui oleh ibu tua
seolah-olah waktu tak ada guna. Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh dia
mulai memasak. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu
menunggu Upik pulang sekolah. Lalu makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu…
Sering ia tersenyum sendiri apabila
mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang
menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada
banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Rantau
lebih memikat mereka ketimbang dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat
hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi yang merusuh hati. Ibu
tua tak sanggup memaksa mereka untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi
semua anaknya telah memiliki rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga
sendiri.
”Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang
kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita
kembali sendiri!” gumam ibu tua itu kembali tersenyum sendiri.
Di jendela, ibu tua menatap jauh ke
halaman. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan. Ada yang berkejar
layang-layang putus. Di ujungnya, gunung Sago terhampar jelas. Waktu itu pun
menyergapnya. Sesuatu yang bernama kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang
disebut lampau. Ketika ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang.
Mengantarkan kawa (makanan dan minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan
sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung
merah dan belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan
bersama-sama dengan para petani. Dengan samba lado dan ikan asin yang dibuatnya
di rumah. Lalu mereka pulang setelah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan
sawah luas yang menguning. Ah, kenangan!
Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia
kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut
seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran.
Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu bersama suami dan istri mereka serta
cucu-cucunya. Kesunyiannya akan pecah. Gumpal lengang yang selama ini menyesak
dada akan mencair dan mengalir. Ia harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu
tua tersenyum puas. Sangat lepas.
”Upik, seminggu lagi mereka pulang.
Tolong peram pisang yang ditebang kemaren. Etek Suni paling suka kolak dicampur
lemang!”
”Jangan lupa minta jagung pada Pak
Simuh. Pak Adang Kalun pasti minta jagung bakar!”
”Kita nanti akan buat samba lado
tanak buat Etek Eti!”
”Oya, Upik. Juga pangek ikan buat
Pak Etek Rustam!”
”Pical buat Pak Angah!”
Upik kadang bingung. Kadang
ucapan-ucapan ibu tua sudah seperti orang meracau. Tapi bocah kecil itu mencoba
memahami dengan usianya sendiri, betapa menggunungnya rindu yang menggumpal di
diri ibu tua. Dengan patuh ia siapkan apa yang diminta oleh ibu tua.
Sementara sang ibu tua, segala
sesuatu terhadap tingkah dan lakunya terlihat berlebihan. Beras yang masih ada
di tambah. Takut nanti tidak cukup, katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah.
Debu-debu. Kain pintu ditukar dengan yang baru. Begitu juga dengan gorden dan
taplak meja. Halaman dan perkarangan diupahkan untuk membersihkannya. Pagar
rumah dicat. Ibu tua terlihat riang dan girang. Sebentar-sebentar ia melihat
almanak. Sebentar-sebentar ia tersenyum. Sebentar-sebentar ia beralih melihat
foto keluarga. Foto di mana mereka semua sedang tersenyum.
”Sunyi akan pecah dari rumah ini!”
ucapnya seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu
terlihat dari wajah keriputnya yang menjelma berseri-seri penuh kesenangan.
Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai
tempat menatap hari dan waktu. Keramain dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan.
Segala yang bernama masa lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar
sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh
Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.
Tapi ibu tua mungkin lupa dengan
gerak yang bernama perubahan. Ketika anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang
ditunggu-tunggunya pulang, ia sama sekali tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak
menyaksikan lengang yang cair. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang
kejam. Justru yang ditemukannya adalah sebuah siksaan baru yang bernama
keasingan.
Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa
anak-anaknya yang telah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang
terdengar aneh. Kadang terdengar keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku
mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang di kampung.
Mereka telah mengusung kota ke rumah gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk.
Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin
menangis. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan ke restoran ketimbang
mencicipi masakan yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa
dirinya limbung dan segera akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas.
Di jendela, sehari setelah
anak-anak, menantu dan cucunya kembali ke kota, ibu tua tertegun menatap jauh
ke halaman. Di belakangnya Upik diam tak berkata-kata. Dendang dari tape
tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yang titik menimpa
selendang usangnya: Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati jika tambah parah.
Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini. Kalian tau apa yang
membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap luka kan sembuh.
Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini. Bila tak ingat
Tuhan. Tentu lebih baik memilih mati.
Ibu tua mencoba tersenyum mendengar
dendang tersebut. Dihapusnya airmata. Lalu menatap ke arah Upik.
”Upik, ketuaan adalah kesunyian.
Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang
tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa
pun selebihnya adalah milik Tuhan!” ucap ibu tua itu. Lalu menutup jendela. Dan
senja pun turun di kampung itu.
http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/10/26/jendela-tua/
0 komentar:
Posting Komentar